Program sistem integrasi padi - sapi merupakan salah satu alternatif dalam meningkatkan produksi padi, daging, susu, dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani. Sistem usahatani integrasi tersebut dapat meningkatkan pendapatan dan nilai R/C lebih tinggi dibanding sistem non integrasi.
Kabupaten Merauke merupakan sentra pengembangan ternak sapi potong. Secara umum ternak sapi potong yang banyak dikembangkan oleh peternak adalah sapi Peranakan Ongole (PO). Permasalahan utama yang dihadapi peternak di Kabupaten Merauke adalah dalam hal penyediaan pakan terutama pada musim kemarau.
Semakin intensifnya penggunaan lahan untuk pertanian, dengan pembukaan areal untuk pencetakan sawah baru mendorong lahan yang tadinya diperuntukkan sebagai padang penggembalaan untuk ternak akan semakin berkurang. Namun demikian nilai positif yang diperoleh dengan semakin intensifnya penggunaan lahan untuk pertanian adalah limbah pertanian yang dihasilkan relatif tersedia sebagai pakan ternak.
Berdasarkan potensi dan permasalahan tersebut tampak bahwa baik komoditas padi maupun sapi potong sangat potensial untuk dikembangkan secara terpadu di Kabupaten Merauke, karena selain menghasilkan produk utama (beras dan daging) juga menghasilkan produk samping (jerami, dedak, pupuk kandang). Dengan demikian permasalahan tersebut diharapkan dapat diatasi secara simultan melalui penerapan sistem integrasi padi-sapi. Program sistem integrasi padi sapi (SIPT) merupakan salah satu alternatif dalam meningkatkan produksi padi, daging, susu, dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani
Analisis Usahatani Integrasi Padi-Sapi
Total pendapatan usahatani integrasi (1 ha sawah + 11 ekor sapi) sebesar Rp 80.999.332, penerimaan Rp 202.191.000, dan biaya Rp 121.191.668, dengan nilai R/C rasio 1,7. Sistem usahatani integrasi padi - sapi dapat meningkatkan pendapatan dan nilai R/C. Pola integrasi jauh lebih tinggi dalam memperoleh pendapatan (Rp 80.999.332) daripada non integrasi (Rp 47.680.000). Peningkatan pendapatan petani dari sistem non integrasi ke sistem integrasi sebesar Rp 33.319.332 atau sekitar 69,88 persen dengan nilai R/C meningkat sebesar 12,092 persen.
Biaya input pada pola integrasi lebih besar disebabkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi karena ternak dikandangkan sehingga pemberian pakan dilakukan di kandang, sedangkan pada non integrasi ternak dilepas atau diikat di padang atau di kebun sehingga tidak membutuhkan biaya tenaga kerja yang besar. Namun demikian walaupun input pada pola integrasi lebih tinggi, tetapi pendapatan yang dihasilkan juga lebih besar dibanding non integrasi. Dapat dikatakan bahwa pola integrasi tanaman ternak layak dikembangkan. Hasil analisis imbangan biaya menghasilkan nilai MBCR 1,4, artinya setiap tambahan biaya dalam menerapkan teknologi sebesar Rp 1.000 dapat meningkatkan penerimaan Rp 1.400. Hal ini berarti bahwa sistem integrasi usahatani padi-sapi layak untuk dikembangkan.
Usahatani pola integrasi padi-sapi merupakan usahatani yang efisien dan sangat relevan untuk kondisi usahatani dengan kepemilikan lahan yang terbatas. Usahatani integrasi padi-sapi dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp 33.319.332 (69,88 persen) dengan skala luas tanam padi satu ha dan 11 ekor sapi. (WD’2024)
Sumber:
Analisis Usahatani Integrasi Tanaman Padi dengan Ternak Sapi Potong. Jurnal Pertanian Agros Vol. 21 No.1, Januari 2019: 1 – 8. /Batseba M.W. Tiro dan Petrus A. Beding. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. 2019
https://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/15350