Penyiapan lahan merupakan tahapan yang sangat penting dalam budi daya sayuran organik yang memerlukan lingkungan pertanaman yang baik. Pertanaman organik dianjurkan pada lahan berkadar bahan organik sedang hingga tinggi. Setelah pembukaan lahan, konservasi perlu dilakukan baik secara fisik maupun biologi agar dapat memenuhi persyaratan lahan untuk pertanian organik.
Karakteristik tanah untuk pertanaman sayuran organik
Dalam pemilihan lahan untuk pertanaman sayuran organik perlu memperhatikan tingkat kesuburan tanah alami. Tanaman sayuran organik dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik apabila tersedia hara dalam jumlah yang cukup di lapisan atas tanah (top soil). Sistem perakaran tanaman sayuran umumnya dangkal, dengan umur pendek, sehingga pengelolaan hara pada bagian atas sangat menentukan keberhasilan pertanaman sayuran organik.
Tanah yang terbentuk dari bahan vulkanik lebih sesuai untuk budi daya sayuran, karena relatif subur, dengan cadangan hara alami tersebar di kaki atas dari lereng pegunungan. Kendala yang perlu diatasi, yaitu kemiringan lahan yang umumnya relatif curam, sehingga tanah peka terhadap erosi pada aliran permukaan lahan. Selain itu kelembaban tinggi yang menyebabkan perkembangan dan serangan penyakit yang tinggi.
Kriteria tanah yang perlu diperhatikan untuk pertanaman sayuran organik, yaitu tekstur & struktur tanah, kandungan bahan organik tanah, ketersediaan hara, kemasaman tanah, porositas, kemampuan tanah memegang air, dan aktivitas mikroba tanah.
Penyiapan lahan untuk sayuran organik
Dalam mengelola produk sayuran organik, proses produksi mengacu pada prinsip-prinsip budi daya sayuran organik sesuai SNI 6729:2013. Jenis lahan pertanian yang dapat dikelola untuk budi daya sayuran organik sebagai berikut:
1. Lahan pertanian yang baru dibuka. Lahan berasal dari hutan sekunder atau lahan yang sudah lama tidak pernah ditanami secara intensif (bera) atau lahan terlantar. Syarat proses pembukaan yaitu pembersihan lahan tidak dilakukan dengan cara pembakaran dan selama proses persiapan lahan tidak menggunakan bahan-bahan penyubur tanah yang dibatasi atau dilarang.
Pertanian organik dapat pula menggunakan lahan yang dikelola tidak intensif seperti (1) Lahan hutan/watani dan lahan usaha tani tanaman tahunan (tanaman industri & buah-buahan) skala kecil yang dikelola oleh petani tanpa menggunakan input pupuk dan pestisida kimia sintetis, seperti lahan usaha tani tanaman hutan, karet, kopi, cokelat, durian, mangga, jambu, mete, dan rambutan. Tanaman sayuran ditempatkan di antara tanaman industri atau buah-buahan tersebut atau sebagai tanaman sela, (2) Lahan usaha tani tanaman semusim atau tanaman pangan yang dikelola tidak intensif dan tanpa input agrokimia sintetis; dan (3) Lahan bera atau terlantar, seperti lahan alang-alang, tegalan, dan pekarangan.
2. Lahan pertanian intensif. Lahan pertanian intensif umumnya menggunakan pupuk dan pestisida-herbisida kimia dalam budi dayanya. Lahan tersebut dapat dikonversi untuk pertanian organik dalm periode tertentu. Lama periode konversi tergantung pada intensitas pertanaman, jenis tanaman, dan cara bercocok tanam dengan ketentuan, yaitu dua tahun untuk tanaman semusim, tiga tahun untuk tanaman tahunan, dan masa konversi dapat diperpanjang atau diperpendek berdasarkan Lembaga Sertifikasi Organik (LSO), namun tidak boleh lebih dari 12 bulan.
Dengan penyiapan lahan untuk budi daya sayuran organik yang sesuai standar diharapkan kualitas produk organik yang dihasilkan dapat terjaga. (SUT/061124)
Sumber:
Badan Penelitian & Pengembangan Pertanian. (2018). Sistem budi daya sayuran organik. Jakarta: IARRD Press.
https://repository.pertanian.go.id/items/ca8ea91f-1234-4d1d-a594-0424dbc8cd17