Bali, surga wisata yang tak pernah kehilangan pesonanya, bukan hanya karena keindahan alamnya yang menakjubkan, tetapi juga kekayaan budayanya yang unik dengan pengaruh Hindu yang kental. Tak heran apabila Bali disebut sebagai "Pulau Dewata." Melacak sejarah kehidupan manusia Bali hingga menjadi Bali kini tentu menjadi hal yang menarik untuk diketahui.
Awal mula kehidupan di Pulau Bali melibatkan keturunan bangsa Austonesia, yang diperkirakan datang sekitar 4000 tahun yang lalu. Jejak sejarah dalam bentuk peralatan sehari-hari telah ditemukan di Desa Trunyan, tepi Danau Batur di Bangli. Periode awal ditandai oleh kehidupan berburu dan pengumpulan makanan secara sederhana. Pada masa ini, manusia Bali hidup sebagai pengembara yang berpindah-pindah dan menggunakan goa-goa sebagai tempat berlindung.
Kebudayaan kuno Bali banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa. Banyak bukti sejarah ditemukan di sekitar Gili Manuk, yang merupakan jalur terdekat antara Jawa dan Bali. Dengan perkembangan peradaban, kondisi alam yang subur di Bali, dengan gunung-gunung berapi, sumber air yang melimpah, dan iklim yang cocok, membentuk ekosistem yang mendukung pertanian. Sejak saat itu, penduduk Bali mulai beralih dari gaya hidup berpindah-pindah hingga menetap dan mengenal kegiatan bertani/ bercocok tanam.
Prasasti Sukawana A I mencatat bahwa bercocok tanam padi telah ada di Bali sejak tahun 882 Masehi, dengan selalu munculnya kata "huma" yang berarti sawah. Prasasti lainnya dari sekitar tahun 900-1000 juga mencantumkan istilah-istilah terkait pertanian seperti mangrapuh, mamula dan atanem (menanam), majukut (menyiangi tanaman), amabaki (membersihkan lahan), amaluku (membajak), amantum (menyiangi padi), ahani (menuai padi), mangharanyi (mengetam), manutu (penumbukan), dawuhan (bendungan), wluran (pembuatan saluran air/irigasi), dan lainnya. Peralatan yang digunakan juga menguatkan aktivitas pertanian, dengan penemuan alat-alat pertanian yang sudah usang, menunjukkan bahwa mereka telah digunakan sebelumnya. Infrastruktur pertanian seperti bendungan, saluran air, terowongan, dan empang juga ditemukan.
Tradisi bertani yang telah ada selama ribuan tahun ini masih bertahan di beberapa daerah di Bali hingga saat ini. Sejarah yang tertulis adalah catatan penting, tetapi banyak dari petani lokal memperoleh pengetahuan mereka melalui pengalaman langsung dan warisan lisan dalam bentuk cerita mitos dan legenda. Mitos tentang Dewi Sri dan legenda Asal Mula Padi adalah contoh nyata dari warisan ini. Peninggalan budaya, seperti bangunan dan cagar budaya, juga menggambarkan budaya ritual yang menekankan harmoni dengan alam.
Pada era modern saat ini, teknologi telah mempermudah akses informasi, termasuk sejarah, praktik bercocok tanam, dan temuan lainya. Digitalisasi lontar dan terjemahan naskah kuno telah memperkaya dokumentasi informasi. Darma pamacul adalah contoh dokumentasi penting mengenai praktik pertanian dan kewajiban petani. Namun, perubahan dan kemajuan peradaban telah mengubah banyak hal di Bali, termasuk kondisi lahan, praktik bercocok tanam, dan keberadaan petani yang rata-rata usia tua. Banyak kalangan yang mengkhawatirkan eksistensi sawah di Bali dan transmisi pengetahuan kepada generasi berikutnya. Meskipun sebagian lahan pertanian telah digunakan untuk pengembangan hunian, industri, dan komersial, serta mengalami penelantaran, data statistik tahun 2019 menunjukkan bahwa sawah seluas 21,089 ha masih terjaga di Kabupaten Tabanan Bali. (DA’23)
Sumber:
Darma Pamacul: Kewajiban Petani Bali Membumikan Kearifan Lokal Lintas Generasi/ I Gusti Made Dwi Guna. Jakarta: Perpusnas Press, 2022