Integrasi sapi - sawit memiliki potensi besar untuk pengembangan bioindustri, baik berupa bioindustri pakan ternak maupun pupuk organik, disamping bioindustri sawit. Model pengembangan bioindustri integrasi sapi – kelapa sawit meningkatkan populasi sapi potong sebesar 55% dari sejak tahun 2015 – 2017 dan kebuntingan sapi betina sekitar 25%, serta bobot ternak sapi meningkat sekitar 20%.
Potensi limbah sawit yang dimanfaatkan sebagai produk pakan ternak adalah bungkil inti sawit dan pelepah sawit sebagai silase, dan produk biofertilizer dari limbah ternak sapi sebagai pupuk organik padat adalah kompos dan cair adalah biourine, produk energi alternatif terbarukan biogas dari limbah ternak sapi.
Secara umum petani kelapa sawit rakyat memakai pupuk anorganik. Harga pupuk anorganik yang relatif mahal adalah salah satu penyebab pemupukan tidak sesuai dosis yang seharusnya. Biaya pemupukan dengan pupuk anorganik mencapai 25-30% dari total biaya produksi minyak sawit. Pola sistem integrasi sapi dan kelapa sawit merekomendasikan pemakaian pupuk organik dari hasil limbah ternak sapi sehingga biaya produksi bisa lebih efisien.
Hasil-hasil penelitian menyatakan bahwa penggunaan pupuk kandang sapi sebagai pupuk organik mampu membantu mempertahankan struktur tanah, meningkatkan populasi jasad renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air serta menyediakan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman kelapa sawit. Produktivitas kebun kelapa sawit pola sistem integrasi sapi dan kelapa sawit lebih tinggi dari pada produktivitas kebun kelapa sawit non SISKA (signifikan pada 15%).
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik dari limbah ternak sapi berupa pupuk organik dari urine dan pupuk kompos dari kotoran padat ternak sapi berdampak positif terhadap produktivitas kebun kelapa sawit. Kotoran sapi dapat mengurangi biaya pengadaan pupuk yang sekaligus dapat mengurangi biaya produksi di samping menjaga kelestarian bahan organik tanah khususnya wilayah perkebunan berlereng. Ternak dapat berperan sebagai industri biologis sekaligus mampu meningkatkan produksi daging dan penyedia kompos.
Analisis Parsial
Analisa parsial kelapa sawit antara petani kooperator model bioindustri sapi – sawit, perbedaan terlihat pada produktivitas dan biaya produksi. Untuk biaya produksi terjadi penghematan sekitar 20 persen untuk penggunaan pupuk, karena selain menggunakan pupuk kimia petani kooperator juga menggunakan kotoran sapi dan biourine.
Penyebab pendapatan petani kooperator kelapa sawit relatif lebih tinggi yaitu Rp 13.183.399 adalah karena produktivitas lebih tinggi daripada non kooperator Rp 8.478.735, sehingga penerimaan petani kooperator lebih tinggi
Analisis parsial ternak sapi diperoleh hasil bahwa pada petani kooperator pendapatannya sebesar Rp 19.273.333 dari 4 ekor sapi, namun diiringi pula dengan peningkatan biaya produksi sebesar Rp 15.871.167 (59,59 persen) terutama yang disebabkan adanya peningkatan upah tenaga kerja. Namun penerimaan juga meningkat dengan hasil produk pupuk padat dan pupuk cair. Biaya untuk pakan juga mengalami penurunan per ekornya. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan sangat signifikan tingkat pendapatan antara petani yang berintegrasi dan tanpa integrasi, karena petani yang menerapkan sistem integrasi akan memperoleh penerimaan yang berasal dari 2 (dua) usaha, yaitu usahatani kelapa sawit ditambah penerimaan yang berasal dari usaha ternak sapi. (WD’2024)
Sumber:
Limbah yang Berharga Integrasi Berbasis Kelapa Sawit dan Sapi/ Penulis, Dhyani Nastiti Purwantiningdyah. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP). 2021. https://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/17461