Di Indonesia bunga lili banyak ditanam di daerah dataran tinggi. Sentra produksi bunga lili antara lain Selabintana Sukabumi, Cipanas, Lembang (Jawa Barat), Bandungan (Jawa Tengah), Batu (Jawa Timur), Tomohon (Sulawesi Utara), Berastagi (Sumatera Utara), dan Bedugul (Bali). Bunga lili dapat diperbanyak secara generatif dengan biji maupun secara vegetatif dengan umbi, siung umbi, bulbil, dan umbi mikro/planlet hasil kultur jaringan. Petani lili umumnya menggunakan umbi sebagai bahan tanaman. Umbi ditanam sampai berbunga dan umbi baru akan menghasilkan bunga lagi, namun waktu berbunganya sulit diprediksi.
Indonesia juga pernah memiliki kultivar bunga lili putih yang disebut lili lokal. Namun, kini lili jenis ini tidak ditemui lagi di pasar bunga karena serangan penyakit yang hampir memusnahkan seluruh pertanaman lili lokal. Padahal, petani menyukai menanam lili karena menguntungkan. Upaya mewujudkan kembali era bunga lili lokal dapat pula dilakukan melalui koordinasi petani/kelompok tani dengan Balai Penelitian dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian maupun instansi terkait lainnya serta manajemen lahan dan tanaman yang baik.
Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) yang berada di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, memiliki plasma nutfah Lilium longiflorum. Dari plasma nutfah ini Balithi dapat menyediakan bahan tanaman berupa biji hasil persilangan lili lokal. Melalui program yang terencana, biji maupun umbi mini dapat disediakan secara kontinu.
Dengan penyediaan biji satu kali, petani tidak perlu membeli umbi lagi dalam waktu dua tahun dengan syarat kondisi maupun sanitasi lahan dipenuhi. Apabila terjadi musibah umbi musnah karena serangan Fusarium, lahan segera dibersihkan kembali dan menanam menggunakan biji yang baru. Balithi juga menghasilkan biopestisida yang ramah lingkungan. Biofungisida yang berbahan aktif Gliocladium sp.
Informasi ini dimuat pada artikel Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian >> Vol.36 No.4 Th. 2014 . Artikel tersebut dapat diakses secara gratis di situs web Pustaka.