Di tengah keterbatasan lahan produktif, harapan baru tumbuh dari tempat yang dulu sering dipandang sebelah mata, lahan rawa. Berkat komitmen kuat dan inovasi berkelanjutan dari pemerintah, lahan basah ini kini diproyeksikan memperkuat ketahanan pangan nasional
Menanam Harapan Baru Lewat Brigade Pangan
Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, Kementerian Pertanian mencanangkan program Brigade Pangan yang bertujuan untuk mendorong peningkatan hasil pertanian melalui pemanfaatan teknologi modern. Program ini mengajak masyarakat, khususnya kalangan muda, untuk turut serta dalam bidang pertanian.
Peluncuran program ini dimaksudkan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional, mencapai swasembada pangan, serta membuka peluang kerja baru di sektor pertanian. Sebagai salah satu langkah untuk meningkatkan produksi pangan nasional, program Brigade Pangan mencakup pengelolaan lahan rawa yang optimal (OPLAH) dan pencetakan sawah rakyat (CSR) yang mengintegrasikan pendekatan berbasis komunitas dengan teknologi canggih
Dalam Upaya mendukung Brigade Pangan terkait dengan teknologi yang dibutuhkan petani, Badan Pengembangan Sumberdaya Pertanian (BPSDMP) Kementerian Pertanian menggelar kegiatan Literasi Brigade Pangan (BP) beberapa waktu lalu.
Memahami Rawa, Potensi yang Tersembunyi
Prof Dedi Nursyamsi dari Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPSDMP) mengungkapkan bahwa Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem lahan basah (wetland) yang berada di perbatasan antara daratan dan sistem perairan.
Kawasan ini dikenal dengan muka air tanahnya yang dangkal bahkan tergenang tipis. Menurut Tim Koordinasi P2NPLRB, sebuah wilayah disebut rawa jika memenuhi empat kriteria, yaitu jenuh air yang memicu kondisi anaerobik, topografi landai hingga cekung, sedimen mineral atau gambut, serta ditumbuhi vegetasi alami. Dalam kerangka hukum nasional, Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 2013 membagi rawa menjadi dua tipologi besar, rawa pasang surut dan rawa lebak.
Rawa Pasang Surut terletak dekat pantai atau muara sungai dan dipengaruhi naik turunnya pasang air laut. Ada empat tipe luapan di lahan pasang surut, dari Tipe A yang selalu tergenang, hingga Tipe D yang hampir tidak pernah terendam dan hanya sedikit memiliki air tanah. Setiap tipe menuntut pendekatan pengelolaan berbeda, menyesuaikan dengan kondisi air dan struktur tanahnya.
Sementara itu, Rawa Lebak lebih dalam karakternya. Terletak di cekungan alami dan bergantung sepenuhnya pada curah hujan, rawa lebak bisa tergenang hingga 200 cm selama hampir setahun penuh. Keragaman ekosistemnya menuntut pendekatan yang sangat spesifik, namun juga membuka peluang untuk optimalisasi pertanian dengan teknik yang tepat.
Kunci Keberhasilan, Pengelolaan Air yang Presisi
Kunci sukses budi daya padi di lahan rawa terletak pada pengelolaan air yang cermat. Di lahan pasang surut, sistem pintu air otomatis (flap gates) atau stoplogs digunakan untuk mengatur aliran air. Saat air laut pasang, pintu kanal irigasi membuka otomatis, dan saat surut, kanal drainase yang aktif membuang kelebihan air. Bahkan, inovasi sederhana seperti penggunaan pipa paralon dengan elbow telah membantu petani menghubungkan saluran satu arah menjadi dua arah untuk mempercepat pencucian lahan.
Di lahan lebak, pendekatannya sedikit berbeda, sistem mini polder bertingkat (cascade mini polder) dan pompanisasi menjadi andalan. Dengan membangun tanggul keliling, saluran masuk dan keluar, serta menggunakan pompa, petani dapat mengatur genangan air dengan presisi, menyesuaikan kebutuhan padi di setiap fase pertumbuhan.
Distribusi genangan juga diperhatikan dengan membagi lahan menjadi petak kecil, kurang dari 2 hektare, dengan perbedaan tinggi genangan maksimal 30 cm, memastikan kondisi optimal untuk pertumbuhan tanaman.
Pengelolaan Air di Setiap Fase Pertumbuhan Padi
Untuk mendapatkan hasil maksimal, kedalaman genangan air diatur sesuai fase pertumbuhan dengan Fase awal (0–15 HST) tanah macak-macak, jenuh air tapi tidak tergenang. Kemudian Fase vegetatif aktif (15–30 HST), genangan setinggi maksimal 10 cm, Fase generatif (16–65 HST) Genangan dikurangi hingga maksimum 5 cm, Fase pematangan biji (>65 HST), tanah dibiarkan lembap hingga kering. Pengelolaan presisi ini bukan hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga menjaga kesehatan ekosistem dan keberlanjutan lahan rawa itu sendiri.
Membangun Masa Depan dari Lahan yang Terbatas
Dengan pengetahuan, teknologi, dan kemauan kuat, lahan rawa yang dahulu dianggap lahan marginal kini menjelma menjadi peluang emas. Melalui program-program seperti Brigade Pangan dan bimbingan terus menerus kepada petani, Indonesia sedang menulis babak baru dalam sejarah ketahanan pangannya. Rawa bukan lagi batasan, tetapi jembatan menuju masa depan pertanian yang berdaulat dan berkelanjutan. (SO)
Mau lihat tayangan lengkapnya silahkan kunjungi kanal youtube Pustaka melalui link berikut
https://www.youtube.com/watch?v=4MCq8_mNs-k