Di dalam Pasal 15 Undang Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dijelaskan bahwa wewenang dan tanggung jawab menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten dan kota berada di tangan pemerintah provinsi Dinas Pengelola Sumber Daya Air (DPSDA) setempat. Pengelolaan sumber daya air secara terpadu, khususnya untuk pertanian, perlu menggunakan pendekatan watershed management yang menjangkau cakupan DAS mulai dari bagian hulu hingga bagian hilir.
Permasalahan aktual yang saat ini dihadapi seperti perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS, yakni dari hutan menjadi lahan pertanian budi daya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya fungsi resapan air, meningkatnya perbedaan debit maksimum-minimum, erosi, dan juga sedimentasi. Tapi permasalahan yang lebih mendasar belum melembaganya pengelolaan sungai secara terpadu yang mestinya tertuang dalam pola tata ruang yang disepakati.
Air sebagai sumber daya pokok kehidupan semakin ketat diperebutkan oleh berbagai kelompok pengguna. Kerawanan sumber daya air mewujud pada ketimpangan antara ketersediaan yang semakin tidak sepadan dengan kebutuhan. Persoalan ini terjadi pada sisi mutu, temporal,maupun spasial. Apa yang kita hadapi saat ini adalah implikasi dari lemahnya pengelolaan sumberdaya air. Ketidaksepadanan pengelolaan hulu dan hilir sungai telah menyebabkan kemunduran kondisi daerah aliran sungai (DAS).
Alternatif solusi untuk pemanfaatan sumber daya air pertanian yang berkelanjutan ke depan perlunya dibangun kelembagaan pengelolaan DAS yang terpadu. Dibutuhkan Forum DAS sebagai wadah koordinasi multi pihak dengan berbasis komitmen yang kuat untuk mengelola ekosistem DAS secara profesional, transparan, partisipatif, akuntabel, dan berkelanjutan.
Informasi ini dimuat pada artikel Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian --> Vol.36 No.3 Th. 2014 . Artikel tersebut dapat diakses secara gratis di situs web Pustaka.